Tak terasa sudah hari ke 9 perjalananku keliling Asia Tenggara. Memang betul apa yang dikatakan orang-orang: jika kita menikmati perjalanan, apapun yang kita datangi tak akan terasa. Dan jujur aku sangat menikmati perjalananku.

Setelah melewati imigrasi kedua negara yang sangat-sangat sederhana, aku melanjutkan perjalanan menuju ibu kota negara Kamboja, yaitu Phnom Penh. Phnom Penh digadang-gadang sebagai kota dengan sejarah yang sangat kelam. Terjadi perang saudara dan konflik pada tahun 70-an yang mengakibatkan jutaan nyawa melayang. Sempat ngeri aku mendengar cerita itu. Tak pandang bulu, bayi dan wanita pun ikut dibunuh.

Dan memang terlihat jelas saat aku sampai di kota Phnom Penh. Phnom Penh mengingatkanku pada Jakarta 30 tahun yang lalu, atau kota kecil di daerah pulau Jawa yang hanya menjadi tempat transit. Sebelum melintasi sungai Mekong, rumah-rumah bobrok dengan tingkat higienis sangat rendah menyambutku. Masih terlihat orang-orang yang hidup sulit meskipun tinggal dekat dengan Sungai Mekong-yang notabene adalah sumber kehidupan menurut orang Kamboja. Anak-anak kecil berlarian di gang-gang sempit, bapak tua yang bermain catur menunggu pelanggan ojek motornya, serta tatapan nanar pedagang kue yang sepertinya belum laku dagangannya sejak pagi.

Selepas dari jembatan yang menghubungkan Sungai Mekong, kehidupan sangat berubah. Gradasi antara kehidupan sebelum sungai Mekong dan setelahnya sangat kontras. Gedung tinggi, rumah-rumah besar, ibu-ibu sosialita yang berdandan menor, dan ego pengendara mobil mewah yang tak mau mengalah. Jelas sekali terlihat perbedaan dan kesenjangan sosial di Negeri yang baru berkembang dan lepas dari jajahan.

Aku hanya bisa menghela nafas. Bersyukur dengan keadaan negara kita yang katanya masih carut marut. Aku bangga tinggal di Indonesia meskipun negeri ini harus banyak berbenah dari berbagai macam aspek. Dan sekali lagi benar kata orang bijak “Pergilah sejauh mungkin. Biarkan kakimu melangkah sebanyak-banyaknya sampai kau sadar akulah rumahmu, Indonesia.”.